Hai kawan.
Masihkah kalian mengingatku? Mengingat kisah persahabatan kita yang
telah kita lalui bersama, bertahun-tahun yang lalu. Persahabatan yang
tak hanya penuh canda dan tawa, tetapi juga isak tangis dan derai air
mata. Kisah penuh mimpi sederhana, langkah awal menggapai cita-cita.
Disertai bumbu-bumbu cinta khas anak remaja. Ah, sepertinya aku telah
terseret ke arus nostalgia. Baiklah, biar kuulang sekali lagi segala
kenangan yang masih melekat di otakku, serasa baru saja kemarin aku
mengalaminya.
Dulu, tiga belas tahun yang lalu, kita berlima bertemu di sebuah SMA,
lima siswa baru yang dengan penuh semangat melanjutkan pendidikan dan
mengganti seragam putih-biru mereka dengan seragam putih abu-abu,
seakan-akan saat-saat memakai seragam itulah yang sedari dulu mereka
nantikan. Lima orang asing yang awalnya tak saling mengenal, namun
kemudian menyunggingkan senyum satu sama lain. Lalu perkenalan yang tak
lagi bisa dielak, ditambah lagi, ternyata kita berlima ditempatkan di
satu kelas yang sama. Aku yang pendiam. Hani yang cerewet. Rama yang
pemberontak. Bunga yang feminin. Dan Adit yang jahil. Pribadi yang
berbeda-beda. Asal dan latar belakang keluarga yang jelas berbeda-beda
pula. Namun siapa sangka, justru karena itulah kita bisa bersama, merasa
tak lengkap tanpa kehadiran seorang di antara kita berlima.
Lalu peristiwa-peristiwa tak terlupakan itu berlanjut, saat kita
bersama menyelesaikan berbagai tugas di ‘markas’ kita –gazebo di
belakang rumahku– ditemani buku-buku yang berserakan dan remah-remah kue
dimana-mana. Saat kita menertawakan Bunga yang jatuh saat bermain ice
skating. Saat kita tersenyum geli melihat Adit yang seolah tak ada
habisnya mengerjai Hani. Saat kita hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala saat melihat Rama (lagi-lagi) dikeluarkan dari kelas karena
membuat gaduh. Hal-hal kecil yang tak akan bisa kita ulangi lagi,
hal-hal kecil yang membuatku merasa bahagia karena bisa merasakannya
bersama kalian. Yah, sayangnya, semua yang kita lalui tak hanya kisah
bahagia, namun juga kisah-kisah sedih, yang sekarang mulai berkelebat di
benakku.
Kau ingat? Saat aku menangis bak anak kecil saat adikku mengalami
kecelakaan. Lalu kalian mengelilingiku yang tengah menangis, tanpa
mengucap sepatah kata pun. Merasakan kesedihan yang sama denganku.
Membuatku merasa lebih baik setelahnya. Lalu saat Hani yang mendadak
menjadi pendiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga jam istirahat
tiba. Hal yang mengkhawatirkan kita, tentu saja. Dan ternyata, malamnya
ia bertengkar dengan orangtuanya karena tak ingin kuliah di jurusan yang
diinginkan orangtuanya. Juga saat Adit yang tiba-tiba memarahi semua
orang, memaki, dan menyumpah-nyumpah. Dan kalian ingat apa penyebabnya?
Ya. Seseorang telah merusak kap mobil kesayangannnya hinga penyok tak
berbentuk. Ah, saat itu benar-benar kalianlah yang telah menjadi
pembangun dinding-dinding pertahanan kami yang mulai runtuh. Membuat
kami kembali kuat seperti sedia kala.
Dan, akhirnya tiba saat itu. Saat serbuk ‘cinta’ mulai ditiupkan dan
menggelitik rasa. Saat-saat yang membuat segalanya berubah. Menjadi
lebih baik, namun juga jauh lebih buruk. Membuat segalanya tak akan sama
lagi. Mungkin memang benar. Tak akan pernah ada kata sahabat dalam
cinta, begitu juga sebaliknya. Dan mungkin itulah mengapa ‘cinta’ tak
seharusnya merasuk ke lingkaran persahabatan. Beberapa orang
menganggapku paranoid, tapi, tentu saja, seperti yang telah kuduga, hal
itu terjadi. Lingkaran yang tak lagi menjadi sebuah lingkaran yang utuh,
entah ujungnya yang putus ataukah membelok, aku tak lagi memerhatikan.
Yang ku tau, lingkaran persahabatanku tak lagi utuh.
Kalian ingat saat itu bukan? Tangis konyol karena merasa dikhianati,
kepalsuan dibalik sebuah senyum. Ah, masa-masa tanpa tawa dan
kebersamaan yang menyakitkan. Lalu perlahan semua mulai menjauh, satu
sama lain. Hingga waktunya kita benar-benar berpisah. Berkelana,
menjelajahi dunia yang sesungguhnya. Masih dengan keheningan yang
menyakitkan. Ah, aku hanya bisa berharap segala kesalahpahaman ini kelak
berakhir. Agar kita bisa kembali tertawa bersama. Menangis bersama.
Karena sesungguhnya, kisah kita tak seburuk itu. Terlalu banyak kenangan
indah yang sayang jika hanya dikubur dalam-dalam, dianggap memori yang
tak perlu diingat kembali. Hei teman, ketahuilah, aku merindukan kalian.
Merindukan kembalinya tawa di antara kita.
Seseorang yang akan
selalu menjadi temanmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar