Kamis, 25 Desember 2014

cerpen

Hai kawan.
Masihkah kalian mengingatku? Mengingat kisah persahabatan kita yang telah kita lalui bersama, bertahun-tahun yang lalu. Persahabatan yang tak hanya penuh canda dan tawa, tetapi juga isak tangis dan derai air mata. Kisah penuh mimpi sederhana, langkah awal menggapai cita-cita. Disertai bumbu-bumbu cinta khas anak remaja. Ah, sepertinya aku telah terseret ke arus nostalgia. Baiklah, biar kuulang sekali lagi segala kenangan yang masih melekat di otakku, serasa baru saja kemarin aku mengalaminya.
Dulu, tiga belas tahun yang lalu, kita berlima bertemu di sebuah SMA, lima siswa baru yang dengan penuh semangat melanjutkan pendidikan dan mengganti seragam putih-biru mereka dengan seragam putih abu-abu, seakan-akan saat-saat memakai seragam itulah yang sedari dulu mereka nantikan. Lima orang asing yang awalnya tak saling mengenal, namun kemudian menyunggingkan senyum satu sama lain. Lalu perkenalan yang tak lagi bisa dielak, ditambah lagi, ternyata kita berlima ditempatkan di satu kelas yang sama. Aku yang pendiam. Hani yang cerewet. Rama yang pemberontak. Bunga yang feminin. Dan Adit yang jahil. Pribadi yang berbeda-beda. Asal dan latar belakang keluarga yang jelas berbeda-beda pula. Namun siapa sangka, justru karena itulah kita bisa bersama, merasa tak lengkap tanpa kehadiran seorang di antara kita berlima.
Lalu peristiwa-peristiwa tak terlupakan itu berlanjut, saat kita bersama menyelesaikan berbagai tugas di ‘markas’ kita –gazebo di belakang rumahku– ditemani buku-buku yang berserakan dan remah-remah kue dimana-mana. Saat kita menertawakan Bunga yang jatuh saat bermain ice skating. Saat kita tersenyum geli melihat Adit yang seolah tak ada habisnya mengerjai Hani. Saat kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Rama (lagi-lagi) dikeluarkan dari kelas karena membuat gaduh. Hal-hal kecil yang tak akan bisa kita ulangi lagi, hal-hal kecil yang membuatku merasa bahagia karena bisa merasakannya bersama kalian. Yah, sayangnya, semua yang kita lalui tak hanya kisah bahagia, namun juga kisah-kisah sedih, yang sekarang mulai berkelebat di benakku.
Kau ingat? Saat aku menangis bak anak kecil saat adikku mengalami kecelakaan. Lalu kalian mengelilingiku yang tengah menangis, tanpa mengucap sepatah kata pun. Merasakan kesedihan yang sama denganku. Membuatku merasa lebih baik setelahnya. Lalu saat Hani yang mendadak menjadi pendiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga jam istirahat tiba. Hal yang mengkhawatirkan kita, tentu saja. Dan ternyata, malamnya ia bertengkar dengan orangtuanya karena tak ingin kuliah di jurusan yang diinginkan orangtuanya. Juga saat Adit yang tiba-tiba memarahi semua orang, memaki, dan menyumpah-nyumpah. Dan kalian ingat apa penyebabnya? Ya. Seseorang telah merusak kap mobil kesayangannnya hinga penyok tak berbentuk. Ah, saat itu benar-benar kalianlah yang telah menjadi pembangun dinding-dinding pertahanan kami yang mulai runtuh. Membuat kami kembali kuat seperti sedia kala.
Dan, akhirnya tiba saat itu. Saat serbuk ‘cinta’ mulai ditiupkan dan menggelitik rasa. Saat-saat yang membuat segalanya berubah. Menjadi lebih baik, namun juga jauh lebih buruk. Membuat segalanya tak akan sama lagi. Mungkin memang benar. Tak akan pernah ada kata sahabat dalam cinta, begitu juga sebaliknya. Dan mungkin itulah mengapa ‘cinta’ tak seharusnya merasuk ke lingkaran persahabatan. Beberapa orang menganggapku paranoid, tapi, tentu saja, seperti yang telah kuduga, hal itu terjadi. Lingkaran yang tak lagi menjadi sebuah lingkaran yang utuh, entah ujungnya yang putus ataukah membelok, aku tak lagi memerhatikan. Yang ku tau, lingkaran persahabatanku tak lagi utuh.
Kalian ingat saat itu bukan? Tangis konyol karena merasa dikhianati, kepalsuan dibalik sebuah senyum. Ah, masa-masa tanpa tawa dan kebersamaan yang menyakitkan. Lalu perlahan semua mulai menjauh, satu sama lain. Hingga waktunya kita benar-benar berpisah. Berkelana, menjelajahi dunia yang sesungguhnya. Masih dengan keheningan yang menyakitkan. Ah, aku hanya bisa berharap segala kesalahpahaman ini kelak berakhir. Agar kita bisa kembali tertawa bersama. Menangis bersama. Karena sesungguhnya, kisah kita tak seburuk itu. Terlalu banyak kenangan indah yang sayang jika hanya dikubur dalam-dalam, dianggap memori yang tak perlu diingat kembali. Hei teman, ketahuilah, aku merindukan kalian. Merindukan kembalinya tawa di antara kita.
Seseorang yang akan
selalu menjadi temanmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar